Rabu, 12 Maret 2014

PULUHAN PENDEMO, RATUSAN APARAT GABUNGAN 402 Views Demo dibubarkan Selasa siang Wednesday, 12-03-2014

Kapolresta Jayapura AKBP Alfred Papare. (Foto: Richard/SULPA)
Kapolresta Jayapura AKBP Alfred Papare. (Foto: Richard/SULPA)
Pembantu Rektor III Uncen Frederick Sokoy. (Foto: Richard/SULPA)
Pembantu Rektor III Uncen Frederick Sokoy. (Foto: Richard/SULPA)

Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat (Gempar) Papua menggelar demo lagi. Ratusan aparat gabungan melakukan pengamanan secara ketat.
      Pengamanan ini juga di-back up dari TNI yang hanya stand by di kesatuannya untuk mengantisipasi perubahan situasi dan eskalasi yang akan terjadi.
      Sekitar 350 personil polisi yang terdiri dari pasukan brimob Polda Papua dan Polres Kota Jayapura, pasukan anti huru-hara melakukan pengamanan di beberapa titik, seperti Wakapolres di Kamkei, Kapolsek Abepura di Gapura Universitas Cenderawasih (Uncen) AbepurA, sekitar kampus Umel Mandiri dan sekitar Kampus Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), dan sekitar perumnas III Waena.
      “Aksi tidak resmi karena, tidak ada laporan ijin keramaian dan tidak ijin untuk melakukan aksi ini,” kata Kapolresta Jayapura, Alfred Papare, di Kompleks Perumnas III, Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Selasa (11/3/2014).
      Menurut Kapolresta Jayapura, aksi mahasiswa Gempar soal boikot pemilu 2014, sudah diketahui Senin malam via SMS yang beredar dan direncanakan di beberapa titik.
      “Melalui informasi itu, kami pun melakukan pengamanan di titik-titik kumpul yang menjadi kosentrasi aksi yakni, Lampu Merah Kamkei, Kampus Umel Mandiri, USTJ, gapura Uncen bawah dan gapura Uncen atas,” ujarnya.
      Dari, aksi demo yang dilakukan di beberapa titik itu tidak berjalan lama, dimana masa aksi diminta untuk tidak melanjutkan aksinya dan membubarkan diri, walaupun sebagiannya ada bergabung di Uncen bawah, namun tidak berjalan.
      Koordinator Aksi, Yason Ngelia mempertanyakan hal-hal apa yang membuat sampai pemerintah Papua begitu bersemangat dalam mendorong perlunya Otonomi Khusus (Otsus) Plus.
      Menurut dia, Otsus Papua memiliki sejarah yang sangat memprihatinkan, dimana ketidakadilan pemerintah pusat dalam membangun Papua zaman Orde Baru, orde Reformasi 1998 hingga 2000.
      “Merupakan, masa waktu yang menelan banyak korban jiwa, diskriminasi, marginalisasi diberbagai sektor pembangunan dan pelenggaran HAM oleh aparat keamanan yang akhirnya membuat orang Papua menuntut status politiknya dengan adanya keinginan memisahkan diri dari NKRI,” kata Yason Ngelia.
      Menurut Yason, pergerakan menuntut pemisahan diri dari NKRI semakin kuat, membuat pemerintah pusat memberikan Otsus bagi Papua pada 2001. Namun, perjalanan Otsus di Papua tidak mampu menyelesaikan semua persoalan di Papua, dikarenakan berbagai kepentingan di dalam birokrasi pemerintah Papua maupun Jakarta yang masih mengecewakan rakyat Papua.
      Ketika orang Papua menolak, bahkan menyatakan Otsus 2001 telah gagal melalui Musyawarah Besar Majelis Rakyat Papua (Mubes MRP) 2010 dan musyawarah 2013 terkait tawaran Otsus Plus harus direferendumkan, namun tidak diindahkan oleh pemerintah Papua dan Jakarta.
      Justru, muncul insiatif pemerintah Papua, melalui kepemimpinan Gubernur Lukas Enembe dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Pemerintahan Papua dengan nama Undang-Undang Otonomi Khusus Plus yang selanjutnya disebut Otsus Plus bagi rakyat papua.
      “UU Otsus Plus dalam wacana saja, sudah merendahkan martabat seluruh rakyat di Tanah Papua dengan perilaku plagiat (copy paste) UU pemerintah Aceh berlandaskan Syariat Islam, untuk diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat di Papua,” kata Yason.
      Menurut dia, plagiat UU pemerintah Aceh menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak mampu menyelesaikan masalah di Tanah Papua.
      Tiga produk masing-masing draft RUU Otsus Plus rancangan Papua, dan draft rancangan Papua Barat dan hasil sinkronisasi keduanya yang tertuang sampai 369 pasal yang sedang dipaksakan untuk Papua.
      Gempar menilai, seharusnya, pemerintahan Enembe jeli dalam melihat situasi dan tidak memaksakan ambisinya karena UU no. 21 tahun 2001 dengan 76 pasal saja tidak mampu membawa penyelesaian masalah Papua karena adalah kemustahilan dalam implementasi Otsus plus kelak.
      Dengan demikian Gempar meminta gubernur Provinsi Papua harus terlebih dahulu memfasilitasi semua komponen masyarakat dalam satu musyawarah dengar pendapat guna memutuskan bersama regulasi yang ditawarkan tersebut.
      Pemerintah pusat di Jakarta dan Pemerintah Provinsi Papua juga seharusnya merespons keinginan masyarakat Papua sesuai musyawarah besar MRP pada tahun 2013 dan menghasilkan rekomendasi bahwa Otsus Papua tahun 2001 telah gagal total, masyarakat Papua meminta satu sikap penyelesaian yang bermartabat yaitu dialog Papua Dan Jakarta.
      Pemerintah harus memberikan kewenangan kepada rakyat dalam bentuk jajak pendapat/referendum setiap kebijakan untuk memutuskan apakah perlu adalah Otsus Plus tersebut atau tidak. Karena dikuatirkan akan sama hal dengan Otsus Papua tahun 2001.
      Gempar juga meminta gubernur Papua dan Papua Barat untuk menghentikan proses pembentukan daerah otonomim baru di Tanah Papua.
      Pembantu Rektor III Uncen, Frederik Sokoy menilai, dari subtstansi demonya, pihak lembaga setuju terhadap Gempar.
      Ada bagian-bagian konstruksi Otsus Plus yang perlu dibicarakan. Bahwa konstruksi yang dibuat oleh cendikiawan yang tidak melibatkan stekholder dalam membahas keberadaan Otsus Plus.
      Gagasan yang hendak disampaikan, setidaknya harus diketahui oleh kedua bela pihak yakni Gempar dan pihak keamanan akan sebuah aksi demo yang ingin disampaikan  kepada pihak pemerintah Papua. Sehingga, masing-masing harus mengetahui tujuannya  apa, maksud dari demo ini apa dan ditujukan kepada siapa.
      “Namun, dari semuanya tentu ada mekanismenya terkait UU yang mengantur tentang perijinan sebuah demontrasi. Sehingga, kedepannya mahasiswa dapat menyampaikan gagasan itu, melalui mekanisme yang diatur, ketika ada kebuntuan, misalnya pihak keamanan meminta demo ini harus terorganisir, pola pengorganisasian seperti apa itu yang harus diterjemahkan oleh mahasiswa,” kata Frederick.
      Menurut dia, subtansi lebih penting dari pada prosudur. Artinya, kalau aparat mengarahkan keamanan demi kepentingan public, demo disiapkan dan diarahkan dengan baik, ketika diberikan kesempatan untuk bertemu dengan gubernur.
      “Kita menunjukkan bahwa kita orang berbudaya dan berwibawa, jangan dengan cara jalan sambil merusak fasilitias umum lainnnya,” katanya.
      Bagaimana isu yang disampaikan itu, melalui cara-cara yang humanis dalam menyampaikan kepada pihak yang bertanggung jawab, sehingga isu ini tidak saja menjadi isu orang Papua. Tetapi menjadi isu untuk semua orang yang tinggal di Papua.
      Pantauan SULUH PAPUA, demo mahasiswa dibubarkan Selasa siang. Setelah itu, mereka kembali dengan aman tertib.
(A/RIC/R3/LO3

Tidak ada komentar: