=======================DETIUS YOMAN===================================
Yati (30) ia menjadi PSk jalanan karena tidak memiliki ketrampilan yang bisa dijual. Walaupun sedang hamil 8 bulan, Yati tetap turun ke jalan guna mencari uang bagi anak-anaknya. Tragis bagi Yati, saat mangkal di Jl. A. Yani, ia dianiaya oleh preman karena menolak diajak “ngamar”. Perutnya yang membuncit, tak luput menjadi sasaran diinjak-injak. Untung, ia selamat, namun tak lama berselang bayinya keluar dalam keadaan tak bernyawa.
Yati (30) ia menjadi PSk jalanan karena tidak memiliki ketrampilan yang bisa dijual. Walaupun sedang hamil 8 bulan, Yati tetap turun ke jalan guna mencari uang bagi anak-anaknya. Tragis bagi Yati, saat mangkal di Jl. A. Yani, ia dianiaya oleh preman karena menolak diajak “ngamar”. Perutnya yang membuncit, tak luput menjadi sasaran diinjak-injak. Untung, ia selamat, namun tak lama berselang bayinya keluar dalam keadaan tak bernyawa.
Jika kita mengacu pada Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terdapat Perempuan setidaknya PSK telah mengalami seluruh bentuk kekerasan baik fisik, psikis, seksual dan ekonomis sebagaimana rumusan Pasal 2 Deklarasi. Kekerasan Fisik, seperti pemukulan, tendangan, tempeleng dari konsumen, GM maupun aparat adalah bentuk keseharian yang dialami PSK. Kekerasan Psikis, tidak pelak lagi akan mereka terima ketika mereka berdiri di pinggir jalan atau bahkan dari lingkungan tempat tinggalnya. Pengusiran dari tempat kost maupun kontrakan menjadi ancaman yang nyata, kamuflase identitas akhirnya dijadikan pertahanan. Demikian pula anggapan bahwa mereka tidak bermoral telah menjadikan PSK menjadi ter-alienasi dari kehidupan sosial.
Tak jarang mereka juga menjadi obyek eksploitasi bagi para oknum aparat, preman, suami atau keluarga dan bahkan oknum mahasiswa. Eksploitasi tersebut bisa berupa Kekerasan seksual maupun ekonomi. Kekerasan ekonomi berupa pemaksaan suami untuk menjadi PSK, retribusi, pungutan uang keamanan atau diajak ngamar namun tidak dibayar (ngemplang). Dari pekejaan PSK setidaknya terdapat 17 pihak yang bergantung pada penghasilannya, mulai dari anak, suami, calo, GM, tukang kamar, Tukang becak, tukang rokok, preman, ormas, parpol sampai pada aparat. Bahkan di salah satu simpul pada saat kampanye marak, salah satu partai melalui “oknum” satgasnya secara rutin menarik iuran sebesar RP. 2000,- dari PSK. Dari seluruh penghasilannya, 60 % digunakan bukan untuk kepentingan PSK melainkan untuk kepentingan pihak-pihak lain. Sehingga melihat perputaran uang yang dihasilkan PSK, maka PSK mendapatkan bagian terkecil dari pekerjaannya.
Kekerasan seksual umumnya terjadi saat PSK menolak melakukan transaksi. Pandangan bahwa mereka disediakan dan harus mau melayani hubungan seksual menyebabkan mereka rentan terhadap perkosaan, termasuk perkosaan missal. Untuk mengadukan hal tersebut pada pihak kepolisian merupakan pekerjaan yang sia-sia. Bahkan dengan landasan moral dan hukum, di sebuah simpul terdapat “oknum” aparat memaksa layanan cuma-cuma dengan janji terlepas dari tindakan operasi (garukan). Karena streotipe PSK, dan mitos sekitar perkosaan menjadikan mereka dianggap, “tidak ada” dan “tidak berhak” untuk dilindungi. Maka di sini kita saksikan bahwa telah terjadi diskriminasi hukum –bertentangan dengan equality before the law- terdapat PSK khususnya terhadap perkosaan dan pelecehan seksual. Di sini PSK dinilai bukan subyek hukum yang berhak mendapatkan perlindungan dan pelayanan hukum, sekalipun telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara. Seandainya pekerjaan melacur dianggap melanggar hukum, maka hak-haknya sebagai pribadi maupun warganegara tidak serta merta dihilangkan.
Disamping diskriminasi hukum, kekerasan negara yang secara nyata terlihat pada tindakan operasi ataugarukan. Tindakan operasi yang bersifat ad hoc atau dadakan, merupakan salah satu bentuk sikap ambigu negara terhadap prostitusi. Karena tindakan operasi tersebut sangat bias kelas, hanya PSK jalanan-lah yang terkena operasi tersebut, sedangkan PSK-PSK di tempat lain tidak pernah tersentuh, demikian pula terhadap germo-germo maupun pelanggan-pelanggan. Hal ini tidak terlepas dari penghasilan yang dapat direngguk negara yaitu sebesar 4,2% (7,2 trilyun) GDP nasional merupakan sumbangan dari industri seks. Tindakan garukan tersebut jelas tidak didukung oleh dasar hukum yang jelas –karena KUHP hanya menjerat germo dang pelanggan-, kecuali didasarkan pada Perda tentang ketertiban sosial atau melanggar ketertiban dan keindahan kota termasuk penertiban KTP. Tidak jarang tindakan operasi ini hanya untuk memnuhi kompesasi-kompesasi politis tertentu dari pemegang kekuasaan.
Kondisi-kondisi tersebut di atas, memperlihatkan bahwa banyak pihak memanfaatkan (mengeksploitasi) ketakutan PSK terhadap aparat keamanan, kerentanan status ekonomi dan rendahnya status sosial mereka di mata masyarakat. Maka wajarlah ungkapan yang menyatakan bahwa PSK adalah profesi yang dikutuk, tetapi di lestarikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar