Oleh: Siti Anisa
(OPINI): Margajaya hanyalah desa kecil di pinggiran Bogor. Sebagian penduduknya bertani. Tetapi, banyak juga yang bekerja di sektor informal, pedagang kecil, sopir. Ada pula buruh-buruh pabrik yang bermigrasi harian ke kota. Disamping, tentu saja, mayoritas anak-anak mudanya terpaksa menganggur. Hampir tak ada yang istimewa dari desa itu. Sampai, ketika pertengahan Juli lalu, sekelompok pemuda menjebol tradisi pemilihan kepala desa. Mereka berhasil mengalahkan politik uang dan kemapanan. Dengan modal harapan, niat baik, dan kesungguhan, mereka membuktikan: politik uang bukan hal yang mustahil untuk ditaklukkan. Kegigihan anak-anak muda itu, agaknya patut direnungkan para politikus; terutama mereka yang sangat khawatir dengan politik uang yang diduga akan dilakukan Golkar di Pemilu mendatang. Adalah Deni Kuswanda, pemuda 21 tahun, lulusan SMA, yang berhasil merebut kepercayaan warga Desa Margajaya untuk duduk menjadi Kepala Desa sejak 18 Juli lalu. Deni meraih dukungan 1100 suara lebih, jauh meninggalkan dua saingan terdekatnya yang hanya 500-an. Padahal berbeda dengan saingannya yang mengandalkan politik uang, yang lazim dalam pemilihan kepala desa, Deni memilih kampanye dengan menawarkan harapan. Apa yang ia akan lakukan untuk desanya, bila nanti terpilih menjadi kepala desa. Dan ternyata, warga percaya. Tentu saja, Deni tak memetik keberhasilan itu dengan berpangku tangan. Beberapa bulan sebelum pemilihan, sekelompok pemuda pendukungnya telah merancang strategi. Mereka bukan kelompok politik. Cuma kelompok pelestari lapangan bola -kebanggaan warga Margajaya yang beberapa kali diancam gusur oleh pengembang perumahan. Menjelang pemilihan kepala desa, anak-anak muda itu memutuskan untuk membentuk Komite Independen Pemantau Pemilihan Kepala Desa. Ancang-ancang yang baik untuk mencegah kecurangan. Komite Independen itu tak direstui kecamatan. Tetapi, mereka terus bekerja menyiapkan diri untuk pemantauan. Tak peduli ada izin atau tidak. Bukan sekali dua, anak-anak muda dalam komite itu diancam aparat. "Pemilihan kepala desa disini rumit," kata pejabat kecamatan yang kesal. Kepolisian pun gerah. Ketika Komite ini memperkenalkan gagasan agar calon kepala desa berkampanye terbuka di lapangan terbuka, intel polisi mengintimidasi dua aktivis komite. Mereka dipanggil ke Polres, dipaksa membatalkan acara kampanye itu. Kampanye urung. Namun semangat anak-anak muda itu mereformasi desa mereka tak surut. Masa kampanye adalah masa paling krusial. Mereka paham betul, masa itulah calon-calon biasanya membeli suara, dengan hadiah-hadiah untuk penduduk. Ada calon yang datang ke rumah-rumah penduduk dengan membawa beras tiga kilogram, dan uang Rp3000,- untuk tiap pemegang suara. Ada calon yang karena dekat dengan GNOTA, memberi baju seragam untuk anak-anak. Hanya Deni, pemuda tak bermodal itu, yang tak bisa memberi hadiah apa-apa untuk calon pemilihnya. Komite Independen tak tinggal diam menghadapi "pembelian suara" itu. Tiap kali makelar-makelar yang mendatangi rumah-rumah penduduk untuk menyogok, aktivis Komite, mengawasi. Segera setelah makelar itu pergi, giliran Komite Independen masuk ke rumah yang sama. Kepada ibu-ibu, bapak-bapak, kakek-kakek, pemegang suara, mereka dengan sabar menerangkan. "Kalau calon kepala desa bagi-bagi hadiah uangnya dari mana? Mereka pasti akan korupsi kalau terpilih jadi kepala desa. Bayar utangnya dari korupsi. Jadi lebih baik memilih calon yang jujur." Kampanye itu ternyata manjur. Mayoritas penduduk memilih calon yang justru tidak membagi-bagi hadiah. Operasi Fajar, seperti yang terjadi di pemilu Thailand atau juga Indonesia, dihentikan secara efektif oleh Komite Independen Margajaya itu. Pembelian suara yang sangat mencolok pada hari terakhir, mereka lawan sebagai tindak kriminal. Pengalaman itu sungguh berharga, terlebih di desa yang menderita kemiskinan akut. Selama ini, iming-iming hadiah menjadi semacam keharusan, bagi calon kepala desa yang mencalonkan diri. Kemiskinan menyebabkan orang dengan mudah menjual suara mereka. Suara rakyat, bukan lagi suara Tuhan. Sebab, banyak suara itu ternyata telah dibeli calon kepala desa. Akibatnya, banyak calon kepala desa terbelit utang; dan terpaksa korupsi untuk bisa membayar kembali biaya kampanye. Tak heran, banyak kepala desa memilih berkolusi dengan pemodal, menggusuri tanah rakyat, sekedar mencari komisi; daripada susah-payah membela kepentingan warganya. Proses pemilihan yang buruk, mudah berlanjut dengan kepemimpinan yang buruk. Itu sebabnya, politik uang mesti dihentikan. Pengalaman itu juga berharga, bagi politikus yang menghadapi pemilihan umum Mei tahun depan. Sudah jadi rahasia umum, Golkar yang sebetulnya tak lagi didukung, punya dana ratusan milyar rupiah. Jauh lebih kaya dibanding partai-partai lain. Belum lagi, kalau Soeharto berdamai dengan Golkar, sehingga trilyunan dana yayasan yang dikelolanya bisa dipakai untuk kampanye. Ada kekhawatiran luas, bahwa Golkar akan membeli suara, dan memperpanjang status quo. Bila itu terjadi, reformasi tinggal kata kosong yang menyedihkan. Tetapi, harapan akan masa depan yang lebih baik, dengan pemimpin yang peduli pada nasib rakyat, ternyata bisa mengubah sikap warga dalam memilih. Harapan itulah yang mesti ditumbuhkan. Di samping tentu saja, kerja keras organisasi. Komite Independen di Margajaya itu, selepas masa kampanye, memfokuskan diri pada pengawasan hari pencoblosan. Sejak pukul 05.30 mereka telah berkumpul di tempat pencoblosan. Memotong kuku-kuku panitia yang terlalu panjang dan biasa dipakai curang. Menangkap enam warga yang membawa kartu suara palsu -fotocopy. Kebenaran memang tak bisa datang tanpa usaha. Juga dalam pemilihan umum. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar