===================DETIUS YOMAN================================
“ Apa mereka mau ngasih makan aku dan anakku…?
Enak saja, lokalisasi minta dibubarkan.”
Sri(20), PSK Jalanan Semarang.
Sri(20) merupakan salah seorang Pekerja Seks Komersil (PSK) jalanan yang hampir tiap malam mangkal di Jl. Pemuda, salah satu jalan protokol di Semarang. Bersama dengan puluhan PSK jalanan lainnya ia akan menunggu para lelaki hidung belang hingga dini hari. Menurut pangkuannya, ia menekuni dunia Pelacuran di jalanan belum ada satu tahun. Pada mulanya ia berpraktek di Lokalisasi Gambilanggu atau dikenal dengan istilah “BKKBN”(Batas Kota Kendal Belok Naik), salah satu lokalisasi yang ada di Semarang. Namun karena dibubarkan, terpaksa ia bersama PSK lainnya, turun ke jalan.
Mereka biasanya bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil.Bila sedang ramai, ia bisa mendapatkan 3 hingga 5 orang tamu. Rata-rata dari setiap tamu ia mendapatkan tip sebesar 15.000 hingga 20.000 rupiah. Namun tak jarang pula semalaman tak mendapatkan tamu sama sekali. Di samping Sri dan teman-temannya terdapat pula puluhan PSK yang lebih dahulu beroperasi di beberapa ruas jalan yang ada di Semarang. Bila dihitung secara lebih cermat, jumlah mereka bisa mencapai ratusan orang. Dalam satu malam saja di Jl. Pemuda, bisa mencapai 50 orang. Apalagi kini ditambah dengan alumni lokalisasi, hampir meningkat sampai 50% atau sekitar 100 orang.
Hasil mapping yang dilakukan oleh ASA PKBI Jawa Tengah, dalam satu malam Semarang dibanjiri oleh 300 sampai 400 pekerja seks. Biasanya mereka mangkal di beberapa ruas jalan yang strategis, seperti di Jl. Pemuda, Jl. A. Yani, Jl. Sudirman, Jl. Pandanaran, Jl. Majapahit, Jl. Kompol Maksum dan beberapa tempat lainnya seperti bawah jembatan mBerok dan Kota Kuno.Ratusan pekerja seks yang beroperasi di jalanan tersebut diduga merupakan para pekerja seks yang sebelumnya berada di lokalisasi. Menurut data dari HUMAS Daerah tingkat II Semarang, saat lokalisasi Sunan Kuning dan Gambilangu ditutup tercatat ada 736 PSK yang mencari nafkah di dua lokalisasi tersebut. Saat dibubarkan, untuk mereka yang berasal dari luar Semarang yang jumlahnya mencapai 698 orang, hanya diberi uang bekal guna pulang ke kampung masing-masing sebesar RP. 25.000,-. Sedang bagi yang berasal dari Semarang, mendapatkan dana untuk modal usaha sebesar RP. 100.000,-. Bisa diduga dengan uang yang tak seberapa tersebut, jelas mereka tak akan bisa hidup dan turunlah mereka ke jalan-jalan pelacuran. Seminggu sekali ia pulang ke rumah, membawa uang untuk keluarga dan membeli barang-barang untuk kemudian ia jual kembali antar sesama PSK.
Dari 107 PSK yang menjadi mitra dampingan ASA, sebesar 43 PSK atau 40,18 % berstatus janda, 38 PSK atau 35,51 % berstatus isteri. PSK yang berstatus isteri umumnya bekerja dengan “seijin” suaminya, atau sebagai alternatif penghidupan karena suami tidak bertanggungjawab. Demikian pula terdapat 25 PSK yang memiliki pekerjaan lain yaitu buruh pabrik, pedagang, dan PRT. Sedangkan jika kita melihat tingkat pendidikan sebesar 45,8 % lulus SD, terdapat yang tidak lulus SD bahkan buta huruf. Dari sebagian kecil PSK ini kita dapat melihat bahwa kemiskinan, tingkat upah yang rendah dan minimnya tingkat pendidikan menjadikan PSK sebagai alternatif terakhir dan terburuk. Maka dengan melihat latar belakang yang ada, dapatlah kita simpulkan bahwa mereka menjadi PSK adalah suatu keterpaksaan.
Upaya pencegahan agar perempuan-perempuan tidak menjadi PSK tidak bisa dilakukan hanya dengan melarang pelacuran atau menutup kawasan lampu merah. Karena penutupan kawasan lampu merah, mereka akan semakin menyebar ke berbagai daerah-daerah lain. Hal ini terlihat pada membanjirnya PSK di jalan-jalan kota Semarang. Hal yang sama ditemui pula di Yogyakarta sebagai akibat ditutupnya Lokalisasi SG, Kramat Tunggak di Jakarta, Silir di Solo, KS di Bojonegoro dan tempat-tempat lainnya. Penutupan lokalisasi tersebut menjadi salah satu sebab sulitnya pengawasan dan pelayanan kesehatan reproduksi terhadap PSK. Upaya penghapusan pelacuran saat ini masih sangat sulit karena menyangkut sistem yang besar, yang justru sama sekali tidak terkaitkan dengan masalah moralitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar