Selasa, 08 Juli 2014

PEKERJA SEKS DIKUTUK TETAPI DILESTARIKAN

=====================DETIUS YOMAN============================
Makna menjadi ‘perempuan’ atau ‘laki-laki’ dalam suatu masyarakat mencakup kepercayaan dan keyakinan tentang seksualitas masing-masing, yakni tentang prilaku  seksual dan bagaimana perasaan masing-masing jenis tentang tubuh sendiri. Sistem patriakhat memberikan peran jender yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Dalam seksualitas laki-laki,dikontruksikan sebagai “jantan”, aktif, bersifat poligam dan memiliki perempuan. Sementara perempuan dikontruksikan sebagai pelayan, pasif, monogam dan tidak menuntut. Peran jender ini menyebabkan timpangnya relasi antara laki-laki dan perempuan, baik pada hubungan seksual maupun sosial.
Seseorang yang memenuhi peran jender yang ditetepkan akan dikatagorikan sebagai “baik-baik”.kontruksi ini secara kasat mata dapat kita lihat pada penilaian masyarakat mengenai prostitusi, pihak yang dianggap bersalah dan tak susila adalah perempuan . sedangkan laki-laki sebagai pihak pemakai tidak dianggap ”berdosa” atau “tidak susila”. Pertanyaan-pertanyaan seperti, ”boleh jajan, tapi pincuknya jangan dibawa pulang!” atau “boleh nyate, asal kambingnya tak dibawa pulang!” atau “Jika laki-laki nyleweng dianggap biasa,wajar,memang laki-laki dasarnya nakal”. Memprlihatkan konstruksi tersebut. Hal ini menyebabkan pola-pola penanganan terhadap “prilaku” yang tidak disepakati tersebut menjadi “bias”. Hal ini tampak pada pandangan masyarakat Indonesia sendiri yang menganggap perilaku laki-laki sebagai hal yang wajar.        
Pelacuran memang diciptakan oleh manusia, terutama oleh kaum laki-laki. Dalam sejarah diceritakan bahwa Solon, penguasa Athena jaman Yunani kuno, secara resmi menyediakan tempat pelacuran yang diisi dengan budak-budak belian perempuan. Bentuk-bentuk  pelacuran juga dapat ditemukan di negara  Babilonia kuno, yang dikaitkan dengan praktek-praktek ritus keagamaan. Dimana perempuan yang berafiliasi dengan sebuah candi diharuskan melayani hubungan seksual orang-orang asing yang mengujungi candi tersebut, untuk memuja kesuburan dan kekuasaan seksual para dewi.
Pada abad kesembilan, gadis-gadis dari kasta yang terendah diminta menjadi devadesi yang bertugas melayani kebutuhan seksual para pendeta di kuil-kuil. Kepada mereka ditanamkan keyakinan bahwa penyerahan diri tersebut sama dengan perbuatan suci. Sedang pada masa abad pertengahan, masyarakat Eropa pada umumnya menganggap pelacuran sebagai penyaluran dorongan seksual laki-laki yang tidak pernah mengenal siklus seperti halnya pada perempuan.
Di Indonesia sendiri, sejarah pelacuran setidaknya dapat kita telusuri mulai Zaman Mataram. Budaya memberikan suguhan pada para pangeran dan kerabat keratin, merupakan salah satu bentuk pelacuran (eksploitasi) yang dikontruksikan sebagai budaya dan dilegitimasi atas nama pengabdian. Sedang pada masa penjajahan, dari pertengahan 1890-an sampai sekitar 1913, pelacuran diatur oleh pemerintah colonial untuk Netherland Indies Army agar para serdadu dapat memuaskan dahaga seksual mereka melalui cara “alamiah”, mengingat berlakunya sikap yang menistakan tindakan masturbasi dan homoseksualitas pada masa itu. Pelacuran yang terorganisir itu dibela berdasarkan keyakinan bahwa pelacuran dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhan seksual alami kali-laki dan agar menjaga mereka tetap “jantan”. Contoh lain adalah kasus perkebunan di Sumatra pada abad ke-19. Diperkebunan pekerja kontrakan perempuan dibayar lebih rendah untuk menarik para pekerja pria dan untuk menjaga mereka tetap berada dalam kontrak.          
Sejarah panjang tersebut diiringi pula oleh keprihatinnan dan penolakan terhadap dunia pelacuran. Keprihatinan dan penolakan tersebut didasarkan pada pandangan bahwa pelacuran bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama. Lembaga perkawinanlah yang dianggap sacral untuk melanjutkan kehidupan dan hanya di dalamnya hubungan seks diperbolehkan. Untuk itu pelacuran dalam segala bentuknya harus dihapuskan.Pandangan tersebut menghasilkan perdebatan dan aksi. Di tingkat internasional di hasilkan kesepakatan yang dimulai tahun 1904 yang kemudian ditingkatkan dalam bentuk. Kovensi pada tahun 1910, 1921, 1933, 1947 dan terakhir diperbaharui pada tahun 1949 dengan diadopsinya the convention for the Suppression of the Traffic to Persons and of the Prostitution of Others oleh PBB. Berbagai konvensi internasional meskipun tidak secara eksplisit melarang pekerjaan melacur, akan tetapi merupakan ketentuan yang bertujuan untuk menghapuskan perdagangan perempuan untuk tujuan pelacuran. Perangkat Internasional lainnya yang ditujukan untuk memberantas perdagangan perempuan dan pelacuran eksploitasi tertuang dalam Pasal 6 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984. Dan pada tahun 1993 PBB memasukkan perdagangan perempuan dan pelacuran paksa sebagai suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasaan Terhadap Perempuan.
Terdapat tiga model dalam menerapkan prinsip-prinsip konvensi, yaitu (1) Abolitionist system, pendekatan untuk menghapuskan pelacuran dimana para pekerja seks seyogynya tidak dipidanakan akan tetapi para calo, mak comblang, germo dan para pemilik rumah bordillah yang seharusnya dihukum; (2) Prohibitionist approaches,dimana pelacuran ditekan sedemikian rupa dengan cara menghukum atau memenjarakan termasuk membiarkan masyarakat mengeksekusi mereka; (3) Regulation system, dimana para pekerja seks, pemilik rumah boril atau lokalisasi dikenakan pajak dan harus tunduk pada prosedur inspeksi yang dilakukan pemerintah.
Di Indonesia sendiri, jika masyarakat memandang pelacuran sebagai perbuatan tuna susila atau bahkan tindak criminal, namun tidak satupun peraturan –setidaknya KUHP- yang melarang pelacuran. Yang terdapat dalam KUHP berkaitan dengan pelacuran hanya pasal 296 KUHP yaitu perbuatan mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul sebagai kebiasaan atau mata pencaharian dan Pasal 297 yaitu mereka yang mengambil keuntungan dari pelacuran atau dalam bahasa popular menjadi mucikari atau germo serta memperdagangkan perempuan dan anak laki-laki dibawah umur. Namun kenyataannya peraturan-peraturan yang ada tidak cukup berarti alias mati karena tidak mampu mencegah perdagangan perempuan dan anak-anak. Hal ini tidak terlepas sikap pemerintah yang ambivalen. Pemerintah memfasilitasi suburnya praktek “kekerasan” ini baik secara terselubung maupun terang-terangan misalnya melalui fasilitas industri seks dan bentuk-bentuk “dating service” lainnya yang dikemas dalam pengembangan industri pariwisata. Program lokalisasi atau dengan istilah yang lebih sopan resosialisasi PSK –namun tak berarti dan tak mengubah apapun- adalah bentuk “legalisasi” lain dari perdagangan perempuan dan pelacuran yang secara resmi dilindungi oleh pemerintah.
DARI LOK

Tidak ada komentar: