Selasa, 08 Juli 2014

PENGUATAN KELOMPOK; AWAL PEMBERDAYAAN PSK

=======================DETIUS YOMAN===============================
Kebanyakan orang menganggap bahwa perempuan terjun kedunia prostitusi karena tak bermoral atau karena terlalu malas untuk mencari pekerjaan halal. Namun apabila kita cermati kasus Lis, Sri,Yati dan beberapa PSK jalanan lainnya, makan akan kita dapati bahwa sebagian besar mereka melakukannya akibat tak punya uang dan tak bisa memperolahnya dengan cara lain. Kebanyakan mereka terjun ke bidang perdagangan seks akibat terdesak keadaan : suami tiba-tiba meninggal, ia mendadak diceraikan, ditelantarkan, atau bahkan sengaja “dijual” oleh keluarganya atau suaminya sendiri. Dan biasanya ada anak-anak yang harus dihidupi.
Untuk menghapus atau menghilangkan perdagangan seks sepertinya satu hal yang tak mungkin. Namun begitu bukan berarti kita setuju terhadap kegiatan tersebut. Karena dimana dan bagaimanapun kegiatan prostitusi lebih merupakan tindak kekerasan dan eksploitasi terhadap kaum perempuan. Hal yang paling realistis saat ini adalah melakukan eliminasi terhadap efek-efek negatif yang menimpa para pekerja seks tersebut.
Upaya menghapuskan kegiatan prostitusi dengan membakar tempat-tempat praktek mereka seperti yang dilakukan di Kebumen belum lama ini (SM, 3 Juli 1999) dan membubarkan lokalisasi, tidak akan pernah berhasil menyelesaikan masalah. Represi yang bersifat sepihak hanya akan memunculkan dan menambah persoalan, tanpa pernah dapat menyentuh pada akar yang menjadi persoalan itu sendiri, sehingga tak akan pernah dapat menuntaskan masalah. Karena pada dasarnya pelacuran merupakan suatu proses panjang penindasan dan pen-tidakberdayaan (dis-emporwerment) kaum perempuan. Maka program pemberdayaan harus bertolak dari kebutuhan untuk membuat mereka mandiri secara menyeluruh, dan bukan semata-mata dari segi kesejahteraan dan kesehatan, tetapi juga secara psikologis, dan menghargai hak-hak hukum mereka sebagai warga negara.
Karenanya perlu disusun sebuah program aksi yang matang yang dibuat berdasrkan skala prioritas, dengan mempertimbangkan upaya memenuhi kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis dengan melibatkan semua pihak ; pemerintah dan masyarakat dengan tujuan memberdayakan para Pekerja Seks. Dalam hal ini elemen masyarakat dapat diwakili oleh para tokoh agama, intelektual, kalangan LSM dan tentunya yang tak boleh dilupakan adalah dengan melibatkan para PSK itu sendiri dalam program sejak awal proses. Sekali lagi karena ditujukan sebagai upaya pemberdayaan, rasanya tidak lucu jika para PSK hanya dijadikan sebagai obyek. Perlibatan mereka secara aktif sebagai subyek, akan sangat berarti dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi keberhasilan program.
Untuk itu kita harus memulai dengan melakukan pendampingan secara personal maupun dalam kelompok-kelompok kecil, berprinsip pada kesetaraan dan pemberdayaan. Dengan tujuan memberikan informasi mengenai hal-hal yang bersifat praktis operasional dan lekat dengan masalah-masalah yang sering mereka temui dalam keseharian. Kegiatan pendampingan ini, harus dilakukan secara intens untuk mempersiapkan penguatan kelompok yang didampingi.
Setelah dianggap ‘matang’ maka pendampingan harus dilanjutkan dengan upaya memfasilitasi terbentuknya kelompok dukungan di antara para PSK, yang dikelola oleh mereka atau paling tidak para pendamping hanya berperan sebagai mitra para PSK dalam merancang berbagai kegiatan dengan memberikan support secara penuh. Yang tak boleh dilupakan adalah lembaga pendamping harus intens pula melakukan kegiatan advocacy untuk sosialisasi visi dan misi penguatan kelompok, kepada berbagai pihak baik yang pro maupun kontra dengan segala program aksi yang telah dirancang.
Hal lain dalam pemberdayaan sebagai kebutuhan strategis, adalah selalu memaparkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang beberapa asumsi dassr yang berkaitan denga hubungan kekuasaan dan pembangunan yang mendasari pendekatan-pendekatan pembangunan sebelumnya. Seperti bahwa kondisi yang ada saat ini merupakan cerminan masyarakat patriaki, dimana hubungan sosial anatar pria dan perempuan berlangsung dalam bentuk sedemikian rupa sehingga control seksualitas dan pelacuran perempuan membentuk dua sisi dari keeping yang sama, yakni dominasi pria (Dam Truong). Termasuk penggunaan istilah “pelacur” atau “WTS”
Bila tiba saatnya berpisah dengan mereka, maka kita harus memasukkan kemampuan memilih sebagai salah satu indikator keberhasilan pendampingan yang telah kita lakukan. Apapun yang menjadi pilihan mereka maka sepatutnya kita menghormati, karena tidak ada sesuatu yang lebih berharga kecuali ketika seseorang telah mampu menentukan pilihannya dengan kemampuan yang dimilikinya untuk menengok sisi negatif dan positif dari pilihan yang diyakininya. 
Tetapi yang lebih penting kemudian adalah kesadaran akan pilihan hidup tersebut menjadi sebuah kesadaran kelas. Dimana penderitaan dan ketertindasan yang selama ini di alami adalah merupakan satu kesatuan dengan penderitaan rakyat tertindas lainnya. Dan ini diharapkan menumbuhkan solidaritas antar rakyat, untuk membangun sebuah kekuatan bersama dalam menghentikan sumber-sumber penindasan dan kekerasan

Tidak ada komentar: