Rabu, 09 Juli 2014

PILKADA HANYA MELAHIRKAN KORUPTOR BARU

==========DETIUS YOMAN==============

Pilkada hanya melahirkan koruptor baru di Indonesia. Tidak ada yang lain. Wajah-wajah korup lahir  dari gua-garba pilkada. Begitu mereka terpilih menjadi gubernur, bupati, dan walikota, yang terpikir hanya, bagaimana bisa mengembalikan modal yang sudah mereka keluarkan.

Modal kampanye bagi seorang calon gubernur, paling sedikit menghabiskan uang antara Rp 50 - Rp 100 miliar. Karena memang pilkada di Indonesia tidak ada yang murah.
Tidak ada sistem yang membat  pilkada murah. Semuanya harus mengeluarkan dana  dan modal yang sangat besar. Semua biaya itu yang harus ditanggung oleh seorang calon gubernur. Para calon gubernur itu, kemudian mencari dana dari para "Cukong" atau pemilik modal yang akan menjadi pendukungnya.
Berapa miliar uang yang harus dikeluarkan bagi seorang calon gubernur kepada para pemimpin partai pendukung? Berapa uang yang harus dikeluarkan bagi para penggerak dan penggalang di lapangan? Berapa uang yang harus dikeluarkan bagi para pengumpul suara di lapangan? Berapa uang yang dikeluarkan untuk membuat panflet, spanduk, baliho, poster, dan iklan di berbagai media? Berapa uang yang dikeluarkan bagi "EO" (Event Organizer), yang akan membuat berbagai kegiatan dan acara?
Bandingkan dengan berapa gaji setiap bulan seorang gubernur, bupati, walikota setiap bulan? Berapa "tak home pay"  (gaji yang dibawa pulang) seorang gubernur, bupati, dan walikota? Kalau seorang gubernur gaji setiap bulan ratal-rata dengan tunjangan Rp 200 juta, atau mungkin sampai Rp 300 juta, maka selama menjabat menjadi gubernur, uang yang dapat dikumpulkan dari gajinya, paling tinggi hanya Rp 15 miliar.
Katakanlah gubernur DKI Jakarta, yang memiliki PAD (Pendapatan Asli Daerah), mencapai Rp 40-50 triliun, setahun, dan berapa gaji gubernur DKI? Katakanlah gaji seorang gubernur DKI, seluruh ditambah dengan tunjangan dan pembagian dari PAD, pasti tidak akan lebih dari Rp 500 juta. Kalau biaya da modal kampanye beberapa bulan, dan harus menghabiskan Rp 100 miliar, dapatkah kiranya seorang gubernur terpilih akan dapat mengembalikan uang kampanye yang sudah dikeluarkan itu?
Inilah yang akan menjadi dilema bagi gubernur yang terpilih. Mereka tidak banyak punya pilihan. Mereka tidak banyak dapat melakukan langkah menutupi biaya kampanye. Pilihan yang mereka lakukan, hanya dengan cara korupsi APBD, menjual asset Pemprov kepada "Cukong", memberikan  proyek-proyek Pemprov kepada para penyandang dana, atau pemilik kapital yang sudah mendanai kampanye. Melakukan kerjasama dengan para "Cukong" melalui BUMD, yang tentu semuanya itu, pasti akan merugikan kepentingan Pemprov.
Mereka yang sudah memenangkan Pilkada itu, tak lama menjabat, kemudian mereka menjadi tersangka berbagai kasus korupsi. Menurut laporan dari Departemen Dalam Negeri, selama periode tahun 2004-2012, sebanyak 173 kepala daerah diperiksa KPK dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa.
Sebanyak 70 persen dari jumlah itu sudah mendapat vonis berkekuatan hukum  tetapdan menjadi terpidana. Jumlah 173 kepala daerah itu setara dengan sepertiga jumlah kabupaten dan kota. Selebihnya, dari 33 gubernur, sudah  lebih 17 gubernur alias 60 persen yang menjadi tersangka, dan sebagian sudah masuk bui.
Bayangkan, seorang kepala daerah, seperti Bupati Banyuwangi, Ani Lestari, yang menjadi Bupati periode 2005-21010, yang sudah ditahan KPK, melakukan korupsi pengadaan tanah, dan merugikan negara Rp 19 miliar! Lalu, kalau 173 kepala daerah, gubernur, bupati, dan walikota, berapa uang negara yang dikorup?
Dibagian lain, Kementerian Dalam Negeri, mencatat sepanjang tahun 2004-2012, sudah 431 anggota DPRD, provinsi yang tersangkut masalah hukum, sebagaian besar mereka (83,7 %), diperiksa dalam kasus dugaan korupsi. Jumlah itu setara dengan 21,5 persen dari anggota DPRD seluruh Indonesia. Sungguh luar biasa. Tidak ada dapat memberikan harapan bagi masa depan Indonesia.
Tingkat partipasi pemilih dari tahun terhadap pemilu dan pilkada terus melorot. Banyak rakyat yang sudah sadar, dan mereka memilih golput. Tidak ikut pemilihan atau pilkada. Seperti Pilkada di DKI tahun 2007, partisipasi rakyat mencapai 63,7 persen. Artinya, ada 36,3 persen rakyat yang tidak memilih alias golput.
Rakyat sudah tidak peduli dengan pemilu dan pilkada. Dibandingkan dengan tahun 2009, tingkat partisipasi  rakyat, terutama di DKI, masih sangat tinggi, mencapai 70 persen. Tetapi, kondisi terus melorot, karena rakyat kehilangan harapan.
Tak ada yang dapat diharapkan dari pilkada ke pilkada, dan hanya melahirkan koruptor-koruptor baru, yang sangat tamak dan merugikan rakyat. Tak ada janji-janji yang akan mereka penuhi. Semua hanya tinggal janji alias janji-janji palsu (jjp). Hidup rakyat tetap sangat sengsara.
Inilah prudok dari pilkada yang sangat merugikan rakyat. Rakyat hanya menjadi mainan para pemain politik yang haus kekuasaan. Sesudah  mereka  berkuasa mereka akan mengeruk uang rakyat. Dengan korupsi. Wallahu'alam.

Tidak ada komentar: