OPINI Ketua KONPAK PAPUA "Harapan Komite Nasinal Pemuda Pancasila -Anti Korupsi Provinsi Papua (KONPAK- PROVINSI PAPUA )
Harapan Komite Nasinal Pemuda Pancasila -Anti Korupsi Provinsi Papua (KONPAK- PROVINSI PAPUA )
Sepatutnyalah, KONPAK menguatkan semua elemen yang cinta Daerah untuk menyatukan visi melawan korupsi. Tak dapat dipungkiri, gerakan-gerakan anti korupsi yang tumbuh,berkembang, dan berlangsung hingga saat ini mengesankan masih berjalan sendiri-sendiri. tentu, kelembekan institusi-institusi hukum yang seperti punya pandangan dan kepentingan masing-masing dalam menyikapi proses sebuah kasus korupsi.
Komite Nasional Pemuda Pancasila –Anti Korupsi Provinsi Papua (KONPAK )mendukung hukuman mati bagi para koruptor papua. Sikap tersebut, secara spiritual memperkuat berbagai ide untuk memaksimalkan efek jera dalam pemidanaan penjahat korupsi di papua. Sudah banyak gagasan “pengepungan” budaya korupsi untuk membangun atmosfer “peperangan” yang kuat. Antara lain, yang paling nyaring adalah memiskinan para pelaku kejahatan korupsi , di samping kerja sosial, larangan menshalati jenazahnya, pemenjaraan di “kebun koruptor”, dll.
Kelemahan membangun penjeraan berakar dari belum mepersatukannya sikap dalam perang melawan korupsi. Mari kawan-kawan kita Simak bagaimana tarik-menarik antara Polda Papua dengan Kejati Papua dalam menangani sejumlah kasus korupsi yang melibatkan petinggi Polda Papua LAORA SITORUS , DPRP dana bansos,42 DPR Papua barat ,Rasin Kabupaten Jayawijaya dan Bupati Lanny Jaya bersumber dari dana hibah tahun anggaran 2013 sebesar 16,764,400,000.00 belum selesai , DPR Provinsi Papua dan DPRD kabupaten /kota yang idealnya menyuarakan hati rakyat juga melempem. Kalau mind set-nya terus seperti sekarang, yang lebih dibutuhkan adalah mobilisasi sikap rakyat untuk “mengepung” semua sisi penegakan hukum.
Wajar apabila kita makin skeptik ketika berbagai lembaga yang seharusnya tepercaya untuk menumpas extraordinary crime itu bergerak tidak jelas. Realitasnya, suara-suara publik yang terepresentasikan melalui media masa yang sejauh ini mencoba mendeterminasi upaya penegakan hukum. Di sisi lain, kembudayaan sikap anti korupsi yang dibangun oleh elemen-elemen kritis rakyat mesti mendapat dukungan secara kelembagaan, misalnya lewat rekomendasi yang setegas.
Visi KONPAK- PAPUA.tentu didasarkan pada kenyataan, kasus-kasus korupsi terus muncul di papua . Vonis-vonis yang cenderung mengabaikan rasa keadilan rakyat justru menciptakan kondisi ketidaktakutan di lingkaran koruptor. Mereka cenderung akan berpikir, “Jalani saja hukumannya, toh harta kita tidak dirampas, masih cukup untuk hidup tujuh turunan...” Terkesan terjadi “pemanjaan” dalam proses hukum, sehingga menepikan semangat pemiskinan yang bisa membuat para calon koruptor takut.
Hukuman maksimal akan menguatkan visi tentang kejahatan luar biasa lainnya, yakni narkotika dan terorisme. Ketiga jenis kriminalitas dahsyat itu mengancam bukan hanya perseorangan dan lembaga, tetapi juga masa depan papua secara bergenerasi . Sikap KONPAK- PAPUA.merupakan bagian dari kampanye determinatif ketika rakyat makin tidak percaya pada keseriusan lembaga-lembaga hukum reguler. Mari kita mendukung KONPAK- PAPUA sebagai Media Rakyat Anti Melawan Korupsi.
Berikut Wawancara Wanita Politisi yang tangguh ,kuat dan berani asal pegunungan tengah ERE WAKUR Selaku Sekretaris Pogja Perempuan Lembaga MRP Papua Mengangkat Bicara “ Perempuan Papua Jadi Agen Anti Korupsi “
ERE WAKUR’ mengatakan bahwa Perempuan papua bisa menjadi filter tindakan korupsi di lingkungan keluarga. Dengan kewenangan yang dimiliki sebagai penguasa rumah tangga , perempuan dapat meneliti dari mana saja sumber keuangan keluarga dan mencegah "uang panas" masuk dapur.
Lebih dari itu, perempuan punya peran lebih besar dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan semakin terbukanya akses bagi perempuan untuk lebih terlibat dalam kerja-kerja di ranah publik, perempuan mempunyai kesempatan menjadi agen kampanye pemberantasan korupsi , semangat anti korupsi di komunitasnya. Hal pertama yang harus dilakukan adalah perubahan pola berpikir. Perempuan harus paham haknya, ujarnya Ere Wakur , saat ditemui di di ruang kerjanya kantor MPR , jayapura, jumat (30/10/2013).
Lebih dari itu, perempuan punya peran lebih besar dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan semakin terbukanya akses bagi perempuan untuk lebih terlibat dalam kerja-kerja di ranah publik, perempuan mempunyai kesempatan menjadi agen kampanye pemberantasan korupsi , semangat anti korupsi di komunitasnya. Hal pertama yang harus dilakukan adalah perubahan pola berpikir. Perempuan harus paham haknya, ujarnya Ere Wakur , saat ditemui di di ruang kerjanya kantor MPR , jayapura, jumat (30/10/2013).
Perempuan Sebagai Filter Korupsi Di Keluarga, Cukup Efektif dan Perlu Tindakan Yang Lebih Progresif
Dari perspektif perempuan di ranah domestik, peran perempuan sebagai filter itu memang bisa dilakukan. Tapi kalau kita melihat dari perspektif gender dan gerakan anti korupsi, peran perempuan bukan hanya sebatas pencegahan tindakan korupsi di level mikro keluarganya, akan tetapi juga bisa berperan di komunitas dan lingkup kerjanya.
Dari perspektif perempuan di ranah domestik, peran perempuan sebagai filter itu memang bisa dilakukan. Tapi kalau kita melihat dari perspektif gender dan gerakan anti korupsi, peran perempuan bukan hanya sebatas pencegahan tindakan korupsi di level mikro keluarganya, akan tetapi juga bisa berperan di komunitas dan lingkup kerjanya.
Perempuan digambarkan punya tiga ruang; domestik, produksi dan komunitas. Di setiap ruang itu perempuan bisa berperan. Di lingkungan kerja, perempuan bisa menjadi agen untuk pencegahan sekaligus suporter bagi gerakan antikorupsi. Misalnya, perempuan bisa mulai dengan mengkampanyekan gagasan transparansi. Slip gaji, harus dipertanyakan apa saja itemnya, apa aja potongannya. Biasanya kan kita tidak terlalu detail, tidak memeriksa bon-bon apa saja, langsung diterima begitu saja via transfer rekening di bank. Nah, kita harus mulai periksa sekarang, apakah potongannya layak, agar jelas transparansi dan akuntabilitasnya. Perempuan bisa berpartisipasi bukan hanya di lingkup keluarga mengurusi gaji suaminya, tapi juga di lingkungan kerja dan komunitasnya, berperan aktif.
Di lingkup komunitas
Gagasan aktikorupsi bisa menjadi bagian integral yang bisa dimainkan oleh perempuan ketika dia berkiprah di komunitas yang dia ikuti. Misalnya di pengajian, ustadnya bilang, îBu, kalau mau amal, tangan kiri jangan sampai tahu. Jangan sampai dicatat, itu kan ikhlasî.
Nah perempuan harus mengkritisi itu. Beramal tanpa dicatat, berarti tidak ada transparansi, nanti itu buat apa, kemana penggunaannya. Gagasan tentang transparansi ini harus dikampanyekan di segala lingkup.
Dari pengalaman ICW, kaum perempuan, terutama kalangan ekonomi lemah, cenderung resisten terhadap gerakan antikorupsi. Mereka menganggap ide itu terlalu jauh dari kehidupan sehari-hari...Memang ada gap, kesenjangan pemahaman. Hal itu pula yang ditemui teman-teman yang mempromosikan hak-hak keadilan jender. Contoh di buku saya, perempuan bisa nyambung ketika diajak bicara soal pendidikan, kesehatan, lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi ketika diajak bicara soal politik, langsung nge-blank, karena dianggap politik hanya soal DPR, MPR, terlalu jauh. Padahal, personal is political. Pendidikan, kesehatan, bukan hanya urusan privat di rumah tangga. Tingginya biaya pendidikan itu bukan cuma soal ketidakmampuan orangtua menyediakan anggaran pendidikan untuk anak-anaknya.
Gerakan antikorupi belum bisa menyambungkan yang personal itu kepada yang politis. Gerakan antikoruspi kan politis, tapi kemudian yang dibahas adalah bagaimana menyambungkan itu dalam kehidupan nyata ibu-ibu di kalangan bawah.
Gagasan aktikorupsi bisa menjadi bagian integral yang bisa dimainkan oleh perempuan ketika dia berkiprah di komunitas yang dia ikuti. Misalnya di pengajian, ustadnya bilang, îBu, kalau mau amal, tangan kiri jangan sampai tahu. Jangan sampai dicatat, itu kan ikhlasî.
Nah perempuan harus mengkritisi itu. Beramal tanpa dicatat, berarti tidak ada transparansi, nanti itu buat apa, kemana penggunaannya. Gagasan tentang transparansi ini harus dikampanyekan di segala lingkup.
Dari pengalaman ICW, kaum perempuan, terutama kalangan ekonomi lemah, cenderung resisten terhadap gerakan antikorupsi. Mereka menganggap ide itu terlalu jauh dari kehidupan sehari-hari...Memang ada gap, kesenjangan pemahaman. Hal itu pula yang ditemui teman-teman yang mempromosikan hak-hak keadilan jender. Contoh di buku saya, perempuan bisa nyambung ketika diajak bicara soal pendidikan, kesehatan, lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi ketika diajak bicara soal politik, langsung nge-blank, karena dianggap politik hanya soal DPR, MPR, terlalu jauh. Padahal, personal is political. Pendidikan, kesehatan, bukan hanya urusan privat di rumah tangga. Tingginya biaya pendidikan itu bukan cuma soal ketidakmampuan orangtua menyediakan anggaran pendidikan untuk anak-anaknya.
Gerakan antikorupi belum bisa menyambungkan yang personal itu kepada yang politis. Gerakan antikoruspi kan politis, tapi kemudian yang dibahas adalah bagaimana menyambungkan itu dalam kehidupan nyata ibu-ibu di kalangan bawah.
Bagaimana strateginya?
Ibu-ibu ini harus diberi contoh nyata. Tiap hari dia berhadapan dengan sogokan, beli KTP nyogok, sekolah nyogok, urus sertifikat tanah nyogok, fakta sehari-hari mereka digempur dengan tindakan koruptif. Akhirnya, orang-orang di bawah ini berpikir praktik-praktik itu wajar. Mereka mau bayar biar urusan gampang, enggak ribet. Mereka punya pemahaman yang keliru tentang korupsi.
Advokasi antikorupsi bukan hanya advokasi di DPR, tapi haruslah menyentuh hingga ke akar rumput, melibatkan masyarakat. Kalau gerakan antikorupsi itu berperang sendirian, hanya oleh LSM, tidak banyak yang bisa dilakukan. Tapi kalau dilaksanakan bersekutu dengan masyarakat sipil di bawah, kekuatannya akan semakin besar.
Sekarang ini kan UU-nya sudah dibuat, tapi budayanya belum. Kadang-kadang praktik-praktik itu dilanggengkan oleh budaya masyarakat sendiri, agama, tradisi atau kebiasaan. Salam tempel, misalnya, masih sering berlaku. Kita sudah bisa menerobos di bagian atasnya, tapi bagian bawah itu yang sulit diubah.Cara menggandeng masyarakat di bawah?
Ibu-ibu ini harus diberi contoh nyata. Tiap hari dia berhadapan dengan sogokan, beli KTP nyogok, sekolah nyogok, urus sertifikat tanah nyogok, fakta sehari-hari mereka digempur dengan tindakan koruptif. Akhirnya, orang-orang di bawah ini berpikir praktik-praktik itu wajar. Mereka mau bayar biar urusan gampang, enggak ribet. Mereka punya pemahaman yang keliru tentang korupsi.
Advokasi antikorupsi bukan hanya advokasi di DPR, tapi haruslah menyentuh hingga ke akar rumput, melibatkan masyarakat. Kalau gerakan antikorupsi itu berperang sendirian, hanya oleh LSM, tidak banyak yang bisa dilakukan. Tapi kalau dilaksanakan bersekutu dengan masyarakat sipil di bawah, kekuatannya akan semakin besar.
Sekarang ini kan UU-nya sudah dibuat, tapi budayanya belum. Kadang-kadang praktik-praktik itu dilanggengkan oleh budaya masyarakat sendiri, agama, tradisi atau kebiasaan. Salam tempel, misalnya, masih sering berlaku. Kita sudah bisa menerobos di bagian atasnya, tapi bagian bawah itu yang sulit diubah.Cara menggandeng masyarakat di bawah?
Kerjasama dengan gerakan perempuan, tokoh agama, tokoh masyarakat, buruh, perempuan, siapa saja yang main di akar rumput. Jadi ini kerja bersama.
Lantas, bagaimana mengintegrasikan gagasan antikorupsi dengan gerakan perempuan?
Kita punya tujuan yang sama, berjuang untuk transparansi, akuntabilitas, merebut resources, keadilan, berpihak kepada HAM. Kerangka besarnya itu, tapi bagaimana mengintregrasikan kepada gerakan.
Gerakan perempuan itu tidak tunggal. Kita kan sangat majemuk, dari sisi organisasi saja beragam; bukan hanya LSM, organisasi keagamaan seperti Fatayat atau Aisyiyah, bukan cuma organisasi sayap partai, ada banyak organisasi profesi, juga PKK, Dharma Wanita.
Tujuannya beragam, agendanya beragam, strateginya bagaimana? Pertama, kita harus mendefinisikan masalah. Kita memetakan itu, untuk mencari dimana letak perpotongannya, misal, pengelolaan anggaran pendidikan, harus transparan dan berkeadilan jender.Selain perpotongan di isu?
Ada lagi perpotongan gerakan antikorupsi dan gerakan perempuan, bukan main di isu tapi dari strategi gerakan, ada engagement, konfrontatif, atau bisa reclaiming. Kadang-kadang galak, tergantung dengan organisasi yang mana kita bekerjasama. Misalnya kerja dengan PKK, tidak bisa dengan pendekatan konfrontatif, tapi jika kerja dengan LSM, ya, memang itu cara kerja mereka.
Keahlian yang harus dipelajari adalah membaca peta; peta aktor, peta politik. Penting dopelajari kapan kita harus nembak, kapan harus defense, kapan bertahan, bukan dalam kondisi yang stagnan. kelemahan gerakan antikorupsi adalah pemetaan politik itu lemah. seolah-olah sama, padahal konstelasi itu berubah dengan sangat cepat dan tidak bisa strategi bisa dilakukan secara terus-menerus. Negara itu kan bermain, berelasi antara citizen dan pemerintah
Kita punya tujuan yang sama, berjuang untuk transparansi, akuntabilitas, merebut resources, keadilan, berpihak kepada HAM. Kerangka besarnya itu, tapi bagaimana mengintregrasikan kepada gerakan.
Gerakan perempuan itu tidak tunggal. Kita kan sangat majemuk, dari sisi organisasi saja beragam; bukan hanya LSM, organisasi keagamaan seperti Fatayat atau Aisyiyah, bukan cuma organisasi sayap partai, ada banyak organisasi profesi, juga PKK, Dharma Wanita.
Tujuannya beragam, agendanya beragam, strateginya bagaimana? Pertama, kita harus mendefinisikan masalah. Kita memetakan itu, untuk mencari dimana letak perpotongannya, misal, pengelolaan anggaran pendidikan, harus transparan dan berkeadilan jender.Selain perpotongan di isu?
Ada lagi perpotongan gerakan antikorupsi dan gerakan perempuan, bukan main di isu tapi dari strategi gerakan, ada engagement, konfrontatif, atau bisa reclaiming. Kadang-kadang galak, tergantung dengan organisasi yang mana kita bekerjasama. Misalnya kerja dengan PKK, tidak bisa dengan pendekatan konfrontatif, tapi jika kerja dengan LSM, ya, memang itu cara kerja mereka.
Keahlian yang harus dipelajari adalah membaca peta; peta aktor, peta politik. Penting dopelajari kapan kita harus nembak, kapan harus defense, kapan bertahan, bukan dalam kondisi yang stagnan. kelemahan gerakan antikorupsi adalah pemetaan politik itu lemah. seolah-olah sama, padahal konstelasi itu berubah dengan sangat cepat dan tidak bisa strategi bisa dilakukan secara terus-menerus. Negara itu kan bermain, berelasi antara citizen dan pemerintah
Pidana Gratifikasi Terlarang
Komisi Pemberantasan Korupsi menerapkan pasal baru untuk mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar.
Setelah menggunakan pasal suap terhadap hakim, KPK kemudian menggunakan Pasal 12B UU No 31/1999 yang diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Sejak diundangkan 21 November 2001, ini pertama kali KPK menggunakan pasal gratifikasi. Apa yang menarik dari langkah baru ini?
Perdebatan hukum
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mencermati pemberitaan tentang penyitaan yang dilakukan KPK. Selain uang Rp 3 miliar saat penangkapan, KPK juga menyita tiga mobil mewah, satu di antaranya diatasnamakan sopir, uang sekitar Rp 2,7 miliar, dan pemblokiran rekening. Dari penyitaan tersebut, KPK diperkirakan mempunyai sejumlah peluang hukum untuk memproses lebih lanjut. Mulai dari pasal suap dan gratifikasi yang sudah dikenakan, aturan lain di UU Tipikor yang belum digunakan, hingga peluang penerapan UU Pencucian Uang.
Keberadaan Pasal 12B ini mendapat penekanan khusus dalam Penjelasan Umum UU No 20/2001. Disebutkan ”pembuktian terbalik” sebagai primum remedium diberlakukan dalam tindak pidana baru gratifikasi. Inilah salah satu kekhususan hukum acara yang memang berbeda dari asas umum yang menganut pembuktian sebagai beban penuntut umum. Keberadaan Pasal 12B diharapkan juga mempermudah penegak hukum menjerat korupsi mengingat sulitnya membuktikan suap untuk penerimaan yang sudah lama terjadi.
Pasal 12B Ayat 1 mengatur ”Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya....” Untuk penerimaan di atas Rp 10 juta, kewajiban pembuktian gratifikasi bukan suap berada di pihak penerima, untuk penerimaan di bawah Rp 10 juta beban pembuktian tetap pada penuntut umum. Namun, sebagian kalangan mengkhawatirkan keberadaan Pasal 12C yang justru menegasikan ancaman pidana gratifikasi jika dalam jangka 30 hari, penerimaan gratifikasi dilaporkan kepada KPK. Karena itu, penerapan pidana gratifikasi masuk perdebatan hukum.
Di satu sisi, keberadaan Pasal 12B dinilai penting bagi pemberantasan korupsi dan membantu penegak hukum. Di sisi lain, terkesan ada standar ganda pembentuk undang-undang ketika mengatur alasan pembenar jika penerimaan dilaporkan kepada KPK. Bisakah hal ini menjadi celah hukum bagi penerima suap yang tertangkap tangan KPK? Misalnya, ketika tertangkap tangan, berdalih akan melaporkan uang yang diterima.
Ada dua isu krusial dalam polemik penerapan pasal gratifikasi. Pertama, apakah ”alasan pembenar” Pasal 12C dapat diberlakukan juga untuk kasus suap ketika penegak hukum menggunakan Pasal 5, 6, 11, 12 a, b, atau c? Tentu, tidak. Karena Pasal 12C menyebutkan secara jelas, pengecualian hanya berlaku untuk Pasal 12B. Dengan demikian, jika penegak hukum menggunakan pasal suap lainnya, Pasal 12C tidak dapat berlaku. Hal ini menegaskan kekhususan regulasi pidana gratifikasi, termasuk penerapannya yang diharapkan bisa membidik penerimaan hadiah di waktu sebelumnya (lebih dari 30 hari) yang belum terungkap melalui upaya tangkap tangan seperti sering dilakukan KPK. Pasal ini juga menjadi pintu masuk terhadap temuan transaksi keuangan mencurigakan oleh PPATK yang sering terbengkalai karena keraguan penerapan hukum.
Kedua, susunan kata dalam Pasal 12B, khususnya subyek yang hendak ditunjuk dalam frase ”apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya”. Apakah dua frase kumulatif itu bermakna sama dengan pasal suap lainnya? Misalnya: menghendaki ada perbuatan dari penerima suap yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya?
Jika dicermati susunan gramatikal, tampak yang ditunjuk bukanlah perbuatan dalam jabatannya akibat penerimaan gratifikasi ataupun bukan penerimaan gratifikasi yang bertujuan untuk menggerakkan pejabat tersebut. Namun, juga dapat pada perbuatan menerima gratifikasi. Dengan demikian, bagian ini harus dibaca: menerima gratifikasi dianggap suap jika penerimaan tersebut berhubungan dengan jabatannya, dan perbuatan menerima itu berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Maka, tak dibutuhkan pembuktian adanya perbuatan si penerima gratifikasi, seperti menerbitkan surat, mengeluarkan keputusan, memenangi perkara, atau lain-lain dalam jabatannya. Cukuplah dipahami bahwa menerima gratifikasi dari pihak lain, khususnya pihak yang beperkara, adalah penerimaan terlarang.
Mengacu UU Mahkamah Konstitusi, Pasal 27B telah menegaskan kewajiban dan larangan terhadap hakim konstitusi seperti: ”menerima suatu pemberian hadiah atau janji dari pihak yang beperkara, baik langsung maupun tidak langsung”. Di sini dapat dilihat, penerimaan dari pihak beperkara itu sendiri dilarang atau berlawanan dengan kewajibannya. Tentu saja jika dapat dibuktikan adanya penerimaan dari pihak beperkara, ini dapat dikategorikan berhubungan dengan jabatan. Singkat kata, seorang hakim menerima/diberikan uang karena dia hakim, dan uang itu tak akan diberikan jika ia masyarakat biasa.
Namun, dari uraian di atas masih terdapat satu kekhawatiran, apakah permintaan keterangan tentang asal-usul kekayaan terkait pasal gratifikasi dapat dilakukan sejak penyidikan? Mengingat ada ketentuan Pasal 38A yang mengatur bahwa pembuktian terbalik dilakukan di persidangan? Jika KPK hanya menggunakan pasal gratifikasi, tentu sulit bagi KPK ”memaksa” tersangka menjelaskan secara benar asal-usul kekayaannya. Dengan mudah, tersangka akan menggunakan dalil Pasal 38A dan hak memberikan keterangan secara bebas, termasuk diam.
Kecuali, KPK mempertimbangkan penggunaan Pasal 22 dan 28 UU Tipikor yang memberikan ancaman pidana 3-12 tahun terhadap pihak yang memberikan keterangan tak benar tentang seluruh harta benda tersangka, istri/suami, anak dan pihak lain yang diketahui/patut diduga berhubungan dengan korupsi yang dilakukan. Penggunaan pasal ini diharapkan juga berpengaruh jika tiba-tiba ada perubahan keterangan antara penyidikan dan persidangan.Pemiskinan koruptor
Secara umum, dalam konteks pemiskinan koruptor, penggunaan pasal gratifikasi dengan kombinasi tepat jadi salah satu cara yang dapat dilakukan KEJATI PAPUA ,POLDA PAPUA dan KPK . Karena jika terdakwa gagal membuktikan penerimaan gratifikasi bukan suap maka ia dinyatakan terbukti korupsi dan hakim dapat memerintahkan perampasan kekayaan. Namun, KEJATI PAPUA ,POLDA PAPUA dan KPK diharapkan terus menelaah peluang penerapan UU Pencucian Uang, terutama jika ditemukan indikasi adanya hasil kejahatan dan penyembunyian asal-usul kekayaan. Dalam kasus JHON IBO,BUPATI MAYBRAT,LAORA SITORUS , unsur ”menyembunyikan asal-usul” dapat dilihat dari perputaran dana pada sejumlah rekening, penggunaan nama pihak lain untuk kepemilikan aset atau tak dilaporkannya kekayaan di LHKPN. Dengan demikian, penerapan pasal gratifikasi oleh KPK perlu dimaknai sebagai upaya meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, termasuk strategi menuju pemiskinan koruptor.
Setelah menggunakan pasal suap terhadap hakim, KPK kemudian menggunakan Pasal 12B UU No 31/1999 yang diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Sejak diundangkan 21 November 2001, ini pertama kali KPK menggunakan pasal gratifikasi. Apa yang menarik dari langkah baru ini?
Perdebatan hukum
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mencermati pemberitaan tentang penyitaan yang dilakukan KPK. Selain uang Rp 3 miliar saat penangkapan, KPK juga menyita tiga mobil mewah, satu di antaranya diatasnamakan sopir, uang sekitar Rp 2,7 miliar, dan pemblokiran rekening. Dari penyitaan tersebut, KPK diperkirakan mempunyai sejumlah peluang hukum untuk memproses lebih lanjut. Mulai dari pasal suap dan gratifikasi yang sudah dikenakan, aturan lain di UU Tipikor yang belum digunakan, hingga peluang penerapan UU Pencucian Uang.
Keberadaan Pasal 12B ini mendapat penekanan khusus dalam Penjelasan Umum UU No 20/2001. Disebutkan ”pembuktian terbalik” sebagai primum remedium diberlakukan dalam tindak pidana baru gratifikasi. Inilah salah satu kekhususan hukum acara yang memang berbeda dari asas umum yang menganut pembuktian sebagai beban penuntut umum. Keberadaan Pasal 12B diharapkan juga mempermudah penegak hukum menjerat korupsi mengingat sulitnya membuktikan suap untuk penerimaan yang sudah lama terjadi.
Pasal 12B Ayat 1 mengatur ”Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya....” Untuk penerimaan di atas Rp 10 juta, kewajiban pembuktian gratifikasi bukan suap berada di pihak penerima, untuk penerimaan di bawah Rp 10 juta beban pembuktian tetap pada penuntut umum. Namun, sebagian kalangan mengkhawatirkan keberadaan Pasal 12C yang justru menegasikan ancaman pidana gratifikasi jika dalam jangka 30 hari, penerimaan gratifikasi dilaporkan kepada KPK. Karena itu, penerapan pidana gratifikasi masuk perdebatan hukum.
Di satu sisi, keberadaan Pasal 12B dinilai penting bagi pemberantasan korupsi dan membantu penegak hukum. Di sisi lain, terkesan ada standar ganda pembentuk undang-undang ketika mengatur alasan pembenar jika penerimaan dilaporkan kepada KPK. Bisakah hal ini menjadi celah hukum bagi penerima suap yang tertangkap tangan KPK? Misalnya, ketika tertangkap tangan, berdalih akan melaporkan uang yang diterima.
Ada dua isu krusial dalam polemik penerapan pasal gratifikasi. Pertama, apakah ”alasan pembenar” Pasal 12C dapat diberlakukan juga untuk kasus suap ketika penegak hukum menggunakan Pasal 5, 6, 11, 12 a, b, atau c? Tentu, tidak. Karena Pasal 12C menyebutkan secara jelas, pengecualian hanya berlaku untuk Pasal 12B. Dengan demikian, jika penegak hukum menggunakan pasal suap lainnya, Pasal 12C tidak dapat berlaku. Hal ini menegaskan kekhususan regulasi pidana gratifikasi, termasuk penerapannya yang diharapkan bisa membidik penerimaan hadiah di waktu sebelumnya (lebih dari 30 hari) yang belum terungkap melalui upaya tangkap tangan seperti sering dilakukan KPK. Pasal ini juga menjadi pintu masuk terhadap temuan transaksi keuangan mencurigakan oleh PPATK yang sering terbengkalai karena keraguan penerapan hukum.
Kedua, susunan kata dalam Pasal 12B, khususnya subyek yang hendak ditunjuk dalam frase ”apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya”. Apakah dua frase kumulatif itu bermakna sama dengan pasal suap lainnya? Misalnya: menghendaki ada perbuatan dari penerima suap yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya?
Jika dicermati susunan gramatikal, tampak yang ditunjuk bukanlah perbuatan dalam jabatannya akibat penerimaan gratifikasi ataupun bukan penerimaan gratifikasi yang bertujuan untuk menggerakkan pejabat tersebut. Namun, juga dapat pada perbuatan menerima gratifikasi. Dengan demikian, bagian ini harus dibaca: menerima gratifikasi dianggap suap jika penerimaan tersebut berhubungan dengan jabatannya, dan perbuatan menerima itu berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Maka, tak dibutuhkan pembuktian adanya perbuatan si penerima gratifikasi, seperti menerbitkan surat, mengeluarkan keputusan, memenangi perkara, atau lain-lain dalam jabatannya. Cukuplah dipahami bahwa menerima gratifikasi dari pihak lain, khususnya pihak yang beperkara, adalah penerimaan terlarang.
Mengacu UU Mahkamah Konstitusi, Pasal 27B telah menegaskan kewajiban dan larangan terhadap hakim konstitusi seperti: ”menerima suatu pemberian hadiah atau janji dari pihak yang beperkara, baik langsung maupun tidak langsung”. Di sini dapat dilihat, penerimaan dari pihak beperkara itu sendiri dilarang atau berlawanan dengan kewajibannya. Tentu saja jika dapat dibuktikan adanya penerimaan dari pihak beperkara, ini dapat dikategorikan berhubungan dengan jabatan. Singkat kata, seorang hakim menerima/diberikan uang karena dia hakim, dan uang itu tak akan diberikan jika ia masyarakat biasa.
Namun, dari uraian di atas masih terdapat satu kekhawatiran, apakah permintaan keterangan tentang asal-usul kekayaan terkait pasal gratifikasi dapat dilakukan sejak penyidikan? Mengingat ada ketentuan Pasal 38A yang mengatur bahwa pembuktian terbalik dilakukan di persidangan? Jika KPK hanya menggunakan pasal gratifikasi, tentu sulit bagi KPK ”memaksa” tersangka menjelaskan secara benar asal-usul kekayaannya. Dengan mudah, tersangka akan menggunakan dalil Pasal 38A dan hak memberikan keterangan secara bebas, termasuk diam.
Kecuali, KPK mempertimbangkan penggunaan Pasal 22 dan 28 UU Tipikor yang memberikan ancaman pidana 3-12 tahun terhadap pihak yang memberikan keterangan tak benar tentang seluruh harta benda tersangka, istri/suami, anak dan pihak lain yang diketahui/patut diduga berhubungan dengan korupsi yang dilakukan. Penggunaan pasal ini diharapkan juga berpengaruh jika tiba-tiba ada perubahan keterangan antara penyidikan dan persidangan.Pemiskinan koruptor
Secara umum, dalam konteks pemiskinan koruptor, penggunaan pasal gratifikasi dengan kombinasi tepat jadi salah satu cara yang dapat dilakukan KEJATI PAPUA ,POLDA PAPUA dan KPK . Karena jika terdakwa gagal membuktikan penerimaan gratifikasi bukan suap maka ia dinyatakan terbukti korupsi dan hakim dapat memerintahkan perampasan kekayaan. Namun, KEJATI PAPUA ,POLDA PAPUA dan KPK diharapkan terus menelaah peluang penerapan UU Pencucian Uang, terutama jika ditemukan indikasi adanya hasil kejahatan dan penyembunyian asal-usul kekayaan. Dalam kasus JHON IBO,BUPATI MAYBRAT,LAORA SITORUS , unsur ”menyembunyikan asal-usul” dapat dilihat dari perputaran dana pada sejumlah rekening, penggunaan nama pihak lain untuk kepemilikan aset atau tak dilaporkannya kekayaan di LHKPN. Dengan demikian, penerapan pasal gratifikasi oleh KPK perlu dimaknai sebagai upaya meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, termasuk strategi menuju pemiskinan koruptor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar